My Blog List

Saturday 16 January 2010

Keseimbangan Akal dan Hati

Dua hal yang berbeda. Akal dan Perasaan. Akal memilki ranah tersendiri begitu juga dengan perasaan yang dekat dengan hati, keyakinan. Masing-masing memilki alat ukur sendiri untuk mengukur sesuatu. Masing-masing memilki standard yang berbeda untuk satuan dan dimensinya untuk menilai sesuatu. Masing-masing tidak bisa dibohongi.

Banyak orang berkata bahwa barang siapa menginginkan kesuksesan maka gunakanlah hati dan pikiran secara seimbang. Dalam bersikap, bertutur kata, dan dalam mengambil keputusan hendaknya meminta pertimbangan dari akal maupun hati. Dengan pertimbangan akal maka keputusan tersebut juga tidak akan melanggar kebenaran akal, minimal akal kita sendiri. Dengan menggunakan hati, keputusan tersebut tidak akan bertentangan dengan hati seseorang, minimal hati kita sendiri. Mengapa hal ini harus dilakukan? Masing masing akal dan hati secara umum mengetahui suatu kebenaran umum yang diakui bersama. Barangsiapa yang melanggar ketentuan akal dan hati maka ia adalah orang yang menentang akal atau hati.

Pada zaman Aufklarung ( pencerahan ) di abad ke 18 seorang anak manusia bernama Immanuel Kant berpendapat tentang zaman pencerahan adalah zaman dimana manusia keluar dari keadaan tidak akil balik. Manusia telah berani untuk berfikir sendiri. Semula Kant dipengaruhi oleh rasionalisme Leibniz dan Woltf kemudian ia pun dipengaruhi empirisme Hume, selain juga nampak pula pengaruh Rousseou.
Keseimbangan akal dan hati ini telah dicetuskan oleh Kant. Tujuan utama dari filsafat kritis Kant adalah untuk menunjukkan, bahwa manusia bisa memahami realitas alam (natural) dan moral dengan menggunakan akal budinya. Pengetahuan tentang alam dan moralitas itu berpijak pada hukum-hukum yang bersifat apriori, yakni hukum-hukum yang sudah ada sebelum pengalaman inderawi. Pengetahuan teoritis tentang alam berasal dari hukum-hukum apriori yang digabungkan dengan hukum-hukum alam obyektif. Sementara pengetahuan moral diperoleh dari hukum moral yang sudah tertanam di dalam hati nurani manusia.

Kant menentang empirisme dan rasionalisme. Empirisme adalah paham yang berpendapat, bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi, dan bukan akal budi semata. Sementara rasionalisme berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan adalah akal budi yang bersifat apriori, dan bukan pengalaman inderawi. Bagi Kant kedua pandangan tersebut Kant juga berpendapat bahwa moralitas memiliki dasar pengetahuan yang berbeda dengan ilmu pengetahuan (science). Oleh karena itu ia kemudian menulis Groundwork of the Metaphysics of Morals pada 1785, dan Critique of Practical Reason pada 1788. Pada 1790 Kant menulis Critiqe of the Power of Judgment. Di dalamnya ia menyentuh bidang estetika.

Di dalam bagian pengantar dari Kritik atas Rasio Murni, Kant menyatakan bahwa “walaupun metafisika banyak dimaksudkan sebagai ratu dari ilmu-ilmu, tetapi rasionalitas metafisis kini dihadapkan pada sebuah pengadilan. Sekali lagi, “kita harus menelusuri kembali langkah-langkah yang telah kita rumuskan. Perdebatan di dalam refleksi metafisika telah membuat metafisika itu sendiri menjadi semacam medan pertempuran, di mana setiap pihak yang berperang tidak berhasil mendapatkan satu inci pun dari ‘teritori’ yang ada. Konsekuensinya metafisika kini ‘terombang ambing’ di antara dogmatisme dan skeptisisme. Metafisika telah menjadi pemikiran spekulatif yang meraba-raba secara acak. haruslah dikombinasikan dalam satu bentuk sintesis filosofis yang sistematis.
Immanuel Kant berpikir lain. Pada Kant metafisika dipahami sebagai suatu ilmu tentang batas-batas rasionalitas manusia. Metafisika tidak lagi hendak menyibak dan mengupas prinsip mendasar segala yang ada tetapi metafisika hendak pertama-tama menyelidiki manusia (human faculties) sebagai subjek pengetahuan.

Disiplin metafisika selama ini yang mengandaikan adanya korespondensi pikiran dan realitas hingga menafikkan keterbatasan realitas manusia pada akhirnya direvolusi total oleh Kant. Dalam diri manusia, menurut Kant, ada fakultas yang berperan dalam menghasilkan pengetahuan yaitu sensibilitas yang berperan dalam menerima berbagai kesan inderawai yang tertata dalam ruang dan waktu dan understanding yang memiliki kategori-kategori yang mengatur dan menyatukan kesan-kesan inderawi menjadi pengetahuan.

Tulisan Kant yang paling awal cenderung pada metafisika rasionalistik.
Kaum rasionalis percaya bahwa dasar dari seluruh pengetahuan manusia ada di dalam pikiran. Sedangkan kaum empiris percaya seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari pencerahan indrawi.

Kant beranggapan bahwa kedua pandangan itu sama sama benar separuh, tapi juga sama sama salah separuh. Jadi baik indrawi maupun Akal sama sama memainkan peranan dalam konsepsi kita mengenai dunia.
Dengan adanya keseimbangan antara akal dan hati inilah sebenarnya menerangkan tentang moral. Moral adalah penunjang keberhasilan seseorang. Nabi Muhammad sebagai tokoh dunia yang diakaui oleh orang baratpun pernah mengatakan. “Jika engkau ingin berhasil maka akhlak adalah kuncinya”.
Selanjutnya filsafat Kant ini disebut sebagai filsafat transendental (transcendental Philosophy). Filsafat transendental adalah filsafat yang berurusan bukan untuk mengetahui objek pengalaman melainkan bagaimana subjek (manusia) bisa mengalami dan mengetahui sesuatu. Filsafat transendental itu tidak memusatkan diri dengan urusan mengetahui dan mengumpulkan realitas kongkrit seperti misalnya pengetahuan tentang anatomi tubuh binatang, geografis, dll, melainkan berurusan dengan mengetahui hukum-hukum yang mengatur pengalaman dan pemikiran manusia tentang anatomi tubuh binatang, dll. Hukum-hukum itu oleh Kant disebut hukum apriori (hukum yang dikonstruksi akal budi manusia) dan bukan hukum yang berdasarkan pengetahuan inderawi (aposteriori).

Dengan demikian metafisika gnoseologi Kant ini merupakan sebuah upaya untuk mereduksi realitas kongkrit (inderawi) pada realitas di dalam akal budi. Bahwa akal budi manusia mempunyai struktur-struktur pengetahuan mengenai segala apa yang ada.
Dalam pandangan Kant, objek itu nampak hanya dalam kategori subjek, jadi tidak ada cara lain kecuali mengetahuinya dengan struktur kategori akal budi manusia. Sebenarnya pemikiran Kant ini berangkat dari pemahamanya tentang hakikat realitas atau neumena itu tidak pernah diketahui , yang kita ketahui itu gejalahnya. Sejauh objek itu saya lihat lantas segala yang dilihat itu masuk dalam akal budi menjadi pengetahuan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Hatta, Mohammad. 1986. Alam Pikiran Yunani. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.
2. http://cobra_go.blog.plasa.com/2008/06/22/immanuel-kant/ (13-1-2009)
3. http://macheda.blog.uns.ac.id/2009/11/14/pemikiran-immanuel-kant/ (13-1-2009)
4. Tafsir, Ahmad. 2003. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung, PT Remaja Rosdakarya.

Ternyata, Panglima Itu Adalah Sebuah Kata

Apakah arti dari “kata”?
Kata adalah suatu unit dari suatu bahasa yang mengandung arti dan terdiri dari satu atau lebih morfem. Umumnya kata terdiri dari satu akar kata tanpa atau dengan beberapa afiks. Itulah definisi dari kata. Dengan cara apa sebuah kata ditinjau, dan apa manfaat, dan pengaruh dari sebuah kata?
Kata memang kelihatan sederhana. Tapi di balik kesederhanaan dari sebuah kata, ia mampu membuat sesuatu tergetar, bergerak, bertindak, bergeser, merubah arah, bahkan mampu mengguncang bumi dan dunia ini.

I Pemuda dan Putri Kiai
Istiqomah, “Aku takut bilang Ayah karena ini sudah larut malam. Dari sore hingga malam engkau mengajakku keluar hingga larut malam begini.”
Andreas, “Dirimu tenang saja Isti, aku sendiri yang akan mengetuk pintu rumahmu dan bilang pada ayahmu sekaligus memintakan ijin bahwa kali ini engkau pulang sampai larut malam”.
Andreas dan Istiqomah adalah dua sejoli yang sedang dilanda cinta. Andreas adalah seorang pemuda Nasrani yang gagah, sopan, tubuhnya tinggi dan tampan. Sementara Istiqomah adalah putri dari seorang Kyai yang cukup tersohor di tempat tinggalnya bahkan orang diluar daerahnyapun banyak yang mengenalnya karena memiliki pondok pesantren yang besar dengan sekitar 550 orang santri.
Memang tidak mudah berbicara pada seorang kyai seperti ayahnya istiqomah. Dengan sopan dan tenang Andreas berhasil meyakinkan Sang kyai.

II Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta
Naskah proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945 sekitar pukul 10.00. Sejak saat itu Indoneia merdeka.
Kalimat yang sarat makna. Pemilihan kata-katanya cermat. Pada kalimat pertama, kata kerja menyatakan (to declare) dapat mengundang pertanyaan apakah kemerdekaan memang dapat dinyatakan begitu saja? Secara ringan kita tentu akan menjawabnya "ya", tetapi tidak pada 64 tahun lalu. Secara politis dan militer, situasi menjelang detik-detik proklamasi tidak mudah karena secara de facto Indonesia masih di bawah pendudukan militer Jepang. Sejak Jepang menyerah kepada sekutu pada 14 Agustus 1945, secara de jure semua daerah pendudukan Jepang beralih kepada tentara sekutu.
Dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan akhirnya Bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan. Merdeka menentukan nasib, hidup aman dan mengemukakan pendapat meskipun tidak penuh 100%.
Setelah merdeka, Bangsa Indonesia tidak lagi mengalami kerja rodi. Ada perubahan besar setelah Proklamasi. Bangsa Indonesia memilki hak untuk menentukan nasib sendiri, berhak menentukan pekerjaan yang ia inginkan. Hak pendidikan, kini bangsa Indonesia memilki kebebasan untuk menentukan arah kebijakan pendidikan, sosial, politik.

III Putus Cinta
“Putus saja!” kata yang terucap dari bibir Toni kepada Dewi. Bgaikan disambar petir Dewipun menangis sambil berlari pulang. Dewi tidak menyangka bahwa pertemuannya dengan Toni kali ini malah menjadi suasana hati semakin hancur, tidak mendapatkan solusi atas permasalahan yang mereka hadapi tetapi malah membuat hati Dewi hancur berkeping-keping. Suatu permasalahan yang sebenarnya bisa dielesaikan tetapi karena terbawa emosi, akhirnya kata itu terucap.
Betapa kecewanya hati Dewi. Hubungan yang sudah direstui kedua keluarga besar inipun harus berakhir dengan tragis. Mereka sudah bertunangan. Bahkan mereka sudah berencana untuk menikah tahun depan. Tapi apa daya nasi sudah menjadi bubur. Rupanya sifat mereka tidak ada yang mau mengalah mengakibatkan hubungan yang sudah terjalin 3 tahunpun kandas di tengah jalan.
Betapa sedihnya Dewi. Kecewa, menangis setiap hari menjadi kenangan pahit yang tak terlupakan. Dewi berniat bunuh diri.

Panglima adalah Kata
Dengan kata-kata Andreas mampu meyakinkan Sang Kiai, walaupun tidak semudah yang dibayangkan dan diiringi dengan perjuangan, dengan kata “Proklamasi” Bangsa Indonesi menyatakan kemerdekaan. Sangat besar sekali pengaruh dari proklamasi kemerdekaan. Dengan kata “Proklamasi” bangsa Indonesia bebas untuk bersekolah, bebas untuk memilih tingkat pendidikannya, bukan hanya orang-orang bangsawan saja yang diperbolehkan untuk menempuh pendidikan formal.
Kata “putus” membuat orang ingin bunuh diri. Sebuah kata yang sangat menyakitkan bila terdengar pada dua sejoli yang sedang dimabuk asmara. Membuat dunia yang sebelumnya terang, kini menjadi gelap seolah tidak ada masa depan. Membuat orang terkungkung dalam kesedihan. Membuat orang tidak berdaya. Membuat orang tidak bekerja. Membuat orang menjadi tidak produktif. Membuat orang menjadi terhambat aktifitasnya. Jika ia seorang pekerja yang rajin, ia dapat menjadi pemalas. Jika ia orang yang periang maka ia akan menjadi murung. Jika ia orang yang beragama dapat berubah menjadi takpercaya. Bahkan jika ia seorang penyayang dapat berubah menjadi pembenci. Jika ia seorang wanita dapat menjadikan ia berubah ingin menjadi laki-laki. Bahkan jika dia hidup dapat menjadikan ia mati. Rupanya kata adalah panglima yang bisa berbuat sesuai kehendaknya. Maka berhati-hatilah dalam berkata-kata maupun menyususn kata-kata.
Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, terutama John L. Austin dan John R. Searle, adalah para pakar bahasa dan filsafat. Para pakar tersebut mengkaji bahasa, termasuk penggunaannya, dalam kaitannya dengan logika. Leech (1983: 2), seperti dikutip Gunarwan (2004: 7), mengemukakan bahwa pengaruh para filsuf bahasa, misalnya Austin, Searle, dan Grice, dalam pragmatik lebih besar daripada pengaruh Lakoff dan Ross.